Jakarta, 26
April 2013
Kepada Yth.
Direktur
Utama
PT Kereta Api Indonesia (KAI)
di Jakarta
Dengan
hormat,
KEBIJAKSANAAN DALAM KEBIJAKAN
Menyampaikan hal tersebut diatas memang terasa
sebagai penyampaian “istilah kuno” yang lebih mengutamakan kesantuan dalam
meraih Goal melalui strategi yang tepat dan tentunya bagi
para Manager yang duduk dikursi Managemen / BOD melihatnya dengan kacamata
“anti lelet” sehingga memandang kalimat “Kebijaksanaan” kadang diartikan dengan
“Alon-alon asal kelakon”, untuk itu saya menyampaikan ha-hal sebagai berikut :
1. PT KAI saat ini semi monopoli dan
bukan satu-satunya moda angkutan massal.
2. Penumpangnya sebagian bersar adalah
manusia yang mempunyai kapasitas yang sama dengan para BOD di PT KAI, jadi
jangan dianggap bodoh dan tak perlu diperlakukan sebagai manusia yang pantas
dihormati.
3. Penumpang loyal selalu diperlakukan
seperti resedivis, tidak pernah dikenal, tidak pernah dipercaya dan tidak
dihormati sebagaimana manusia sewajarnya.
4. Penumpang adalah penopang kebutuhan
dana investasi yang dianggap tidak faham akan batas-batas kewajaran harga
tiket.
5. Penumpang dianggap selalu
membutuhkan jasa angkutan Kereta Api tanpa pertimbangan nilai-nilai ekonomi.
6. Fasilitas dalam kereta api masih
menunjukkan pemaksaan sehingga Air Condition dan Bordes masih tampak tanda
renovasi yang tidak profesional
7. Para SDM tetap maupun outsourcing
diciptakan seperti hardware yang hanya menjalankan tugas sehingga tidak bisa
memberikan solusi yang tepat kecuali jawaban “saya hanya menjalankan tugas”
8. Manajeman perjalanan tidak pernah bekerja
secara konsisten dengan alasan kepadatan dan hal-hal tehnis yang tidak mampu
diatasi secara manual (kebijaksanaan)
9. Tiketing selalu dibuat terkesan
susah, pemesanan, penukaran, rescedule, syarat identitas yang tidak pernah jadi
data base (berapa kali identitas akan diperiksa dalam beberapa kali perjalanan
walaupun itu berkesinambungan pergi dan pulang) – seperti resedifis – tidak
dipercaya dan tidak dikenal.
10. Kesan pemborosan yang diakibatkan
dengan tehnologi yang tanggung-tanggung dapat dilihat dari cetakan applikasi
pemesanan, cetakan tiket yang penuh warna, cetak tiket dengan dot matrik,
melibatkan banyak sekali sumber daya manusia dalam menangani selembar tiket,
tinta cetak dan cap sesuai identitas, kesemua itu dapat diminimalisir dengan
lembar kecil cetakan tiket dengan kodefikasi tertentu untuk efisiensi samapai
denganat seper seribu (1 permil) dari biaya yang dikeluarkan sekarang.
11. Sangat terkesan bahwa manajemen
membangun semua sistem ini dilandasi dengan kebijakan “ketidak percayaan dengan
semua pihak”, artinya menciptakan kondisi psykis masyarakat internal dan
eksternal perusahaan yang mengarah kepada arah yang sangat berbahaya dikemudian
hari (mati mendadak)
12. Kebijakan PT KAI sangat riskan
dengan potensi hancur tanpa sadar sehingga seperti Telkom, Pos dan Merpati yang
mati tanpa diketahui penyebabnya sehingga harus melakukan transformasi yang
sangat rumit.
13. Kesan tiket diperebutkan sangat
kentara ketika reservasi di buka sejak H-3bulan, tapi coba beli tiket lebaran
pada H-3bulan+1 artinya hari pertama pemesanan atau 89 hari sebelum kereta
lebaran berangkat, tiket sudah dibilang habis atau harga tiket sudah menerapkan
standar tertinggi (ada apa nih….?), kemudian kita coba beli tiket lebaran pada
H-1bulan+15 ke Stasiun Senen melalui calo diluar antrian tiket, dengan harga
2xlipat insya Allah dalam waktu 5 menit kita sudah mendapatkan tiket dengan
syarat KTP bahkan tanpa uang muka, mereka calo profesional, kok mahal….? orang
dalam mintanya juga mahal…. jawabnya. Kembali muncul (?) ada apa…..?
14. Didepan para Menteri dan anggota
Kabinet kebijakan PT KAI sementara ini mungkin dianggap tepat dan kuat dalam
meningkatkan perolehan keuntungan PT KAI yang sedang butuh dana untuk membangun
investasi infrastruktur tanpa harus hutang ke Luar Negeri tapi akan lebih baik
dibarengi dengan kesadaran dan ke-ikhlas-an para pengguna jasa Kereta Api,
sampai kapan dan kapan kami menikmati sarana transportasi yang murah, layak dan
nyaman karena ini semua milik rakyat Indonesia. (Bangun Rasa Memiliki untuk
sustainability / keberlanjutan hidup PT KAI)
Sebenarnya saya hanya ingin mengungkapkan bahwa
sistim yang dibangun memang belum tuntas tapi sebaiknya ada filosofi yang
melatarbelakangi semua kebijakan itu sehingga dapat diterima nalar dengan
mudah, sedangkan sebelum ada filosofi sebaiknya ada kebijaksanaan (permakluman
yang tidak merugikan/win-win solution), bagaimana caranya ? kita coba dengan
beberapa alternatif dibawah ini :
a. Gathering untuk mengajak para penumpang
(user) dari yang rutin harian, mingguan, bulanan samapi yang sesekali naik
kereta, mereka ditanya apa kesan terhadap kebijakan PT KAI sementari ini.
(alternatif ini mungkin dinilai mahal karena perlu ada dana dalam acara dan
panitia)
b. Quesioneer / daftar pertanyaan yang menampung
kesan dan pesan dengan pelayanan PT. KAI belakangan ini (lagi-lagi perlu biaya
cetak dan kertas dan distribusi yang ribet).
c. Pengumuman lewat pengeras suara dan
media informasi (SMS broadcast, tweeter, BBM dan Internet) apabila mau mengirim
pesan dan kesan kebijakan PT. KAI terhadap penyandang dana utama (penumpang
yang bayar) harap menulis dan mengirim ke….. dengan biaya sendiri.
Tiga alternatif diatas kiranya dapat dipilih
satu diantaranya yang dianggap paling efisien dan efektif, selanjutnya diolah
dengan hati yang bijak serta yakin bahwa diluar sana banyak orang-orang yang
bisa berpikir lebih baik untuk dipertimbangkan dalam kebijakan para BOD di PT
KAI.
Demikian saya sampaikan, semoga dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan ke masa depan dalam mencapai GOAL (Visi Misi) PT KAI
dengan lebih cepat dan kondusif ( kadang saya masih mendengar bisikan “tidak
usah didengerin dan ditanggapi, reaksi itu biasa….. nanti juga bosan sendiri”
lirih sih…. tapi…. suatu saat boom….! itu meledak dan membuat kerusakan disemua
sektor dalam manajemen PT KAI (siapa yang tanggungjawab…?) atas perhatian dan
kerjasama yang baik disampaikan terima kasih.
Hormat saya,
Pramono Edi
Penumpang Rutin sejak 2003
Koordinator penumpang tua
0 komentar