
  
Kereta Api  Parahyangan sudah selesai. Tamat riwayatnya pada  pekan ini. Menjelang ajalnya, pencinta kereta ramai-ramai naik dari  Bandung ke Jakarta.  Namun, jangan  terjebak pada ”romantika” belaka  karena sekarang saat terbaik untuk berefleksi. Ada apa dengan kereta api  dan transportasi massal? 
 
Salah satu  alasan terkuat penutupan layanan kereta itu adalah KA Parahyangan  merugi.  KA Parahyangan merugi Rp 36 miliar per tahun.
 
Di tengah  resistensi terhadap penutupan Parahyangan, Taufik Hidayat dari Lembaga  Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) justru berani ”melawan arus”.
 
Menurut  Taufik, ”Tutup  kalau merugi. Pikirkan juga  sisi komersial kereta api  yang   harus dijaga untuk keberlangsungan  kereta api.”
 
Taufik  menjelaskan, bila keuangan Parahyangan yang ”merah” atau bahkan ”merah  membara” dibiarkan, malah mengancam keseluruhan hidup PT Kereta Api (PT  KA). Alhasil, mempertahankan Parahyangan hanya memperkeruh kondisi dan  masa depan perkeretaapian kita.
 
Memang terkesan PT Kereta Api  hanya menimbang sisi bisnis saat menutup Parahyangan. Namun, ingat,   pergeseran PT KA dari  pelayan publik ke perusahaan profit merupakan  kehendak pemerintah, yang mengubah menjadi perusahaan perseroan.
 
Jika  pemerintah serius menangani perkeretaapian, mengapa tidak membentuk  Kementerian Perkeretaapian. Toh, India dan China, dengan Menteri Kereta  Api-nya,  berhasil membangun puluhan ribu kilometer jalur rel. Tanpa  liberalisasi perkeretaapian, dua negara itu pun berhasil.
 
Pemicu  awal kematian KA Parahyangan adalah beroperasinya Jalan Tol  Cikampek-Padalarang penghubung Jakarta dan Bandung,  tahun 2005. Melalui  jalan tol, waktu tempuh dua kota itu (180 kilometer) terpangkas dari  4-5 jam menjadi  2-2,5 jam.
 
 Kalah kompetisi 
  
Daya saing KA Parahyangan, yang menembus Jakarta-Bandung dalam tiga  jam, pun melemah. Parahyangan makin ”terpukul” saat Kementerian  Perhubungan mengizinkan lebih banyak travel, tidak lagi hanya travel  ”4848”.
 
Pertanyaannya, mengapa travel?  Tidakkah lebih baik  mengandalkan  bus daripada travel untuk mengurangi  macet dan emisi  buang?  Bila travel boleh berangkat dari Jalan Sudirman, Jakarta,   mengapa bus tidak? Di kota-kota besar dunia, seperti Tokyo, Kuala  Lumpur, dan Stockholm, bus juga berangkat dari tengah kota.
 
Tentu  sah-sah saja ada kompetisi antara kereta dan travel. Kompetisi adalah  sebuah kewajaran.  Harus diakui, travel Jakarta-Bandung memudahkan  konsumen di Depok, Bintaro, atau Rawamangun yang jauh dari Stasiun  Gambir.
 
Saat pemerintah membiarkan kompetisi terbuka antara  kereta dan travel, itu  sama saja dengan menunjukkan ketidakadilan dan  ketidakberpihakan. Atau memang tidak ada arah dalam pembangunan  transportasi massal?
 
Ketidakadilan pertama adalah  membiarkan  kereta menggunakan bahan bakar minyak tarif industri, sedangkan   angkutan darat (travel) memakai BBM  bersubsidi. Jika ingin tiket kereta  lebih murah sehingga rakyat tertarik, mengapa solar kereta tak  disubsidi?
 
”Matinya Parahyangan menunjukkan pemerintah omong  kosong dalam mewujudkan angkutan massal yang efisien dan ramah  lingkungan. Dengan kebijakan yang tak protransportasi massal,  Parahyangan seolah dimatikan  perlahan-lahan,” kata  ahli transportasi  Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno.
 
Jika  direnungkan,   kematian KA Parahyangan mungkin juga disumbang
 
oleh  buruknya sistem  transfer antartransportasi massal di negara ini.
 
Bila  travel memanjakan penumpang dengan perjalanan dari titik ke titik,  sebaliknya penumpang KA Parahyangan  direpotkan saat harus berpindah  moda.
 
Misalnya, Anda mau ke Bandung naik KA Parahyangan dari  Kalibata, bila naik kereta ekonomi, Anda harus turun di Stasiun  Gondangdia, naik bajaj ke Stasiun Gambir, baru naik KA Parahyangan ke  Bandung.
 
Setibanya di Bandung, Anda masih harus berpikir keras  sebab tak mudah, misalnya, untuk menuju Jalan Hegarmanah. Di Stasiun  Bandung tak tersedia transportasi massal seperti jaringan bus rapid  transit yang andal.
 
Alhasil, penumpang harus naik taksi, yang  parahnya tidak semua taksi di Bandung resmi. Ada pula yang menyebut  dirinya taksi, tetapi ternyata minibus tanpa argometer. Tak jarang pula   penumpang dari Stasiun KA Bandung harus  membayar tarif taksi hingga Rp  50.000, yang ironisnya lebih mahal dari tarif kereta itu.
 
Sebenarnya  tak perlu  mengambil contoh terlalu jauh.  Penempatan halte busway  Gambir I yang jauh di sisi utara Stasiun Gambir saja telah menunjukkan  ketidakberpihakan pemerintah terhadap masyarakat pengguna transportasi  massal.
 
Apa susahnya membangun halte busway sejajar sisi timur  Stasiun Gambir? Arahkan busway masuk  ke areal Stasiun Gambir supaya  penumpang kereta langsung naik busway.
 
Kadang-kadang kita jadi  bertanya-tanya.  Apakah pemerintah  tak punya hati, melihat rakyatnya  berjalan kaki  sambil memanggul tas? Mengapa di Stasiun Gambir,  misalnya, lokasi parkir mobil paling dekat  pintu stasiun, sebaliknya    Bus Damri  diparkir jauh?
 
Begitu KA Parahyangan ditutup,  pemerintah malah menawarkan  kepada investor swasta  untuk menjalankan  kereta  itu. Undang-Undang Perkeretaapian Nomor 23 Tahun 2007 memang  memperbolehkan investor swasta untuk  menjadi operator.
 
Pertanyaannya,   mungkinkah ada investor swasta yang mau menjalankan kereta api di  tengah kebijakan-kebijakan yang lebih ramah bagi  kendaraan pribadi?
  
Belum lagi ada Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 219 Tahun 2010,  yang intinya  ”menyerahkan” prasarana (rel, stasiun, fasilitas operasi)  kepada PT KA.
 
Maka, jangan-jangan, bila menjalankan KA  Parahyangan, investor swasta   selalu ”dikalahkan” oleh perjalanan  Argo  Gede.
 
Sebagai manusia,  bernostalgia mengenang masa lalu,  meratapi ditutupnya Parahyangan, memang tidak dilarang. Apalagi, dulu,  antrean panjang di loket KA Parahyangan menjadi pemandangan setiap akhir  pekan.
 
Sangat boleh jadi, jika Tol Cikampek-Palimanan selesai,  KA Argo Jati Jakarta-Cirebon akan  ditutup. Demikian juga jika Tol  Ciawi-Sukabumi selesai, KA Bogor-Sukabumi pun mungkin ditutup.
:::News Link:::